bagi yang mau liat sebelumnya tinggal scroll ke bawah yaaa.
Teman –
temanku sudah tak heran ketika melihatku masuk kelas terlambat, karena hal
tersebut sering terjadi.
“Wah, mentang
– mentang rumahnya deket enak banget ya datengnya bisa siang.” Salah satu teman
di kelasku nyeletuk.
“Ih, dia gatau
aja gue ngapain dulu pagi – pagi. Dasaaaarrr.” Aku menjawab dalam hati.
Saat aku sudah
memasuki kelas 2 Sekolah Menengah Atas, salah satu kakakku keluar dari rumah
asuh dan dia memutuskan untuk bekerja.
“Setidaknya
aku ada yang nemenin buat bantuin mamah, ga kebayang kan kalo bantu sendirian
terus.” Ujarku ketika aku dan kakakku kebetulan bersama.
Aku merasa
sedikit terbantu dengan adanya kakakku di rumah, tiap malam dia yang membantu
mamah untuk memotong sayuran sedangkan aku berbelanja ke warung dengan sepeda
dan setelah itu mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh sekolah. Tetapi
kakakku juga terkadang kesal jika aku tidak turut membantu karena dia juga
merasa lelah setelah pulang bekerja.
Tak lama
akupun naik kelas, aku sekarang menjadi siswa kelas 3 Sekolah Menengah Atas.
Aku bahagia karena akhirnya aku berpikir bahwa setelah aku lulus maka aku bisa
bekerja dan membiayai hidupku bersama ibu. Kakakku tak lama menikah dengan
kekasihnya setelah aku naik ke kelas 3 SMA dan dia memutuskan pindah rumah jauh
dari aku dan ibu.
“Mau
dilanjutin apa udahan nih jualannya? Kalo ga ada yang bantuin gimana? Sekarang
udah ga kuat begadang.” Ibu mengutarakan keluh kesahnya.
“Yaudah mamah
ikut kakak aja.” Saranku.
“Nanti sekolah
kamu gimana? Siapa yang mau bayarin?”
“Ya ngga tau. Hehe”
Karena biaya
yang dikeluarkan banyak semasa kelas 3 SMA, aku mendatangi kakakku yang satu
lagi, sebut saja kak Nida. Aku mengunjunginya untuk meminta uang tiap bulannya.
Sepertinya ada seseorang yang tidak suka dengan kedatanganku, ada yang
mengatakan bahwa kak Nida tak boleh memberiku uang kalau aku tak tinggal
bersamanya. Memang harus diakui bahwa aku selalu datang mengunjungi ka Nida
pada sore hari sepulang sekolah dan malamnya sudah harus kembali ke rumah untuk
membantu ibu lagi. Setelah tak berapa lama kemudian akhirnya aku tinggal
bersama kak Nida yang membiayaiku dan ibuku tinggal bersama kakakku yang
menikah.
Hari – hari
kujalani seperti kebanyakan remaja pada umumnya, misalnya belajar, bermain, dan
hangout bersama teman – teman. Selain
tas yang berisikan buku dan alat tulis, ada hal lain yang biasanya aku bawa ke
sekolah, yaitu tas yang berisikan puding.
Kak Nida mempunyai kreasi yang merupakan hasil dari tangan – tangan
terampil, dia membuat puding dengan dua rasa. Walaupun terkesan sederhana namun
di sekolahku belum ada yang menjual makanan yang seperti itu.
“Hei, bawa
apaan tuh? Kok sekolah aja tasnya sampe ada dua begitu?” temanku melotarkan
pertanyaan kepadaku.
“Aku bawa
pudding. Kamu mau?” Akupun memulai aksi promosi pertamaku.
Tiap hari aku
membawa pusing sekitar 20 – 30 cup dan aku menjualnya dengan harga Rp. 2000,00
per cup. Untungnya lumayan untuk menambah uang saku ketika kehabisan ongkos
ataupun ketika lupa membawa uang jajan dari rumah.
Kelas 3
Sekolah Menengah Atas memang tahap sedang sibuk – sibuknya mempersiapkan Ujian
Sekolah (US) dan Ujian Nasional (UN), banyak mahasiswa – mahasiswa yang gempar
mempromosikan universitasnya masing - masing. Bahkan tidak sedikit pula
universitas yang sudah membuka pendaftarannya dari jauh – jauh hari sebelum Ujian Nasional diadakan. Pada
awalnya aku tidak tertarik dengan dunia perkuliahan karena memang pada target
awalnya aku ingin cepat bekerja, mindset yang
demikian dinilai kurang baik oleh guru yang mengerti aku pada saat itu.
“Buat apa sih kuliah? Kalo misalnya lulusan SMA aja
udah bisa kerja?” Aku selalu bertanya dalam hati.
To be continued......